Layung... (part 1)
Hoammmm….. jam berapa ini? Kubuka mataku lebar
mencari tahu situasi apa yang kulewatkan saat terbangun dalam tidur yang cukup
panjang..
Terakhirkali kuingat rasanya sedang tertidur
di kamar ibuku karena sakit kepala yang begitu menyiksa, sudah lama kurasakan
sakit kepala dan pening namun malam tadi sakitnya agak berlebihan. Aku tak
sanggup berdiri dan berjalan menuju kamarku, dan kuputuskan untuk tidur di
kamar ibu. Kemana semua orang yah? Kamar ibu sepi sekali. Aaaaah… segar sekali
pagi ini, eh.. ini pagi atau siang ya? Entahlah namun bisa kulihat cahaya
terang matahari masuk ke dalam jendela kamar ibu yang terletak di lantai 2
rumah ini. Kulihat jam dinding yang menempel diatas lemari besar berwarna
coklat, astaga jam 1 siang! Aku melewatkan kuliahku pagi tadi, astagaaaa…. Mana
dosennya Bu Sinta, dia yang paling galak dan menyebalkan diantar dosen-dosen
lainnya, mampusss aku. Ah sudahlah, aku bisa meminta Ayah membuatkan surat
sakit, sudah sejak SD kugunakan kelicikan ini hehe. Profesi ayah adalah dokter
umum, dan ayah tak pernah tega melihatku menangis jika mulai merengek malas
pergi sekolah, dia akan segera membuatkan surat sakit untuk dikirimkan ke
sekolahku.. begitu seterusnya hingga kini kududuk di bangku kuliah semester 6.
Siang ini aku merasa sangat sehat, tak pernah
kurasakan tubuhku sesehat ini, perasaan kemarin-kemarin kepalaku selalu saja
sakit saat terbangun dari tidur, tapi kali ini rasanya lain. Ini pasti berkat
keajaiban tempat tidur Ibu! Kalau saja tahu daridulu tempat tidur ini bisa
menyembuhkan sakit kepalaku, pasti setiap hari aku akan menidurinya. “Nanti
malam Layung tidur lagi disini ya buu..”, ucapku sambil tersenyum dan perlahan
mengangkat tubuhku bernjak dari tempat tidur. Ya ampuuun Ibuu, kamar ini
berantakan sekali… baju-baju berserakan diluar lemari, sepertinya ibu yang
bekerja sebagai dosen di sebuah universitas lagi-lagi terlambat pergi ke
kampusnya. Aku termenung sejenak, semalaman tadi aku meniduri kasur ayah dan
ibu, lalu mereka tidur dimana ya? Ah sudahlah, mungkin malam tadi mereka tidur
di kamarku, aku yakin Ayah tak akan mengijinkan Ibu untuk membangunkanku yang
tertidur pulas. Kuputuskan untuk membereskan tempat tidur dan lemari yang
sangat berantakan.
“Antikkk… Antikkk…”, kupanggil adik perempuanku
dari lantai 2 tepat didepan kamar Ayah dan Ibu, sepi…. Tak ada jawaban.
Biasanya dia pulang ke rumah jam 11 di hari Jumat, eh.. ini jumat kan? Aku
bingung sendiri, tapi aku yakin ah ini hari jumat karena kemarin siang aku baru
melewati kuliah Fisika Dasar , untuk kali ketiga aku terpaksa mengulang mata
kuliah ini karena tidak pernah berhasil lulus melewatinya, aku benci hari
kamis! Makanya aku yakin banget ini pasti hari Jumat, kemana si Antik yah? Aku
mencarinya hanya untuk menanyakan apakah dia sudah makan siang atau belum. Aku
hafal betul kesukaan Antik, kebetulan aku agak piawai dalam soal memasak… Antik
paling suka kumasakkan oseng-oseng lidah sapi saus tiram, sesuai dengan namanya
makanan favorit adik perempuanku ini juga sangat antik. Entah mendapat ilham
dari mana Ayah dan Ibu mendapatkan nama-nama kami, kakak laki-lakiku
bernama Jimbar… diambil dari nama tempat di Bali bernama Jimbaran dimana
untuk pertamakalinya mereka bertemu dan saling jatuhcinta…hhhhhhh Jimbar selalu
terlihat sebal jika kami ingatkan soal silsilah namanya, namaku Layung yang
konon karena aku lahir saat matahari hampir terbenam dan langit berwarna
oranye..dalam bahasa Indonesia Layung berarti senja, ini yang paling aneh
hahahah seharusnya adikku bernama Cantik namun Ayah memprotesnya karena takut
anaknya akan menjadi centil dan rewel.. maka Ibu yang tetap ingin
mempertahankan huruf-huruf dalam calon nama adikku membuang huruf C
didepannya.. Tadaaaa! Jadilah Antik. Keluargaku agak nyentrik, mungkin karena
darah seni yang menurun dari Ibu yang menekuni dunia seni Teater, Ayahlah yang
menormalkan Ibu agar selalu menapaki tanah sehingga keluarga kami tetap terjaga
tak terlalu terbang menjadi pribadi unik menyerupai alien.
Ah sepi sekali rumah ini, biasanya Antik yang
paling cepat sampai di rumah, menyusul Ibu, aku, Jimbar, lalu Ayah, namun siang
ini bahkan Antikpun belum sampai di rumah. Ya sudahlah tak ada salahnya jika
kubereskan seluruh isi rumah ini lalu memasakkan makan siang untuk Antik.
Kulangkahkan kakiku menuruni tangga menuju lantai satu dimana semua kegiatan
keluarga ini terpusat, ya ampunnnn!!!! Berantakan sekali sihh!!!! Tak biasanya
rumahku kacau berantakkan, ini ada apa sih? Aku bingung sebenarnya apa yang
sudah kulewatkan selama kutertidur pulas semalaman ini.
Sudahlah, kuputuskan untuk merapihkan
semuanya. Banyak sekali jejak telapak kaki di lantai rumah seperti bekas
diinjaki banyak orang, jorok sekaliiiii… hal yang pertama kulakukan adalah
menyapu dan mengepel lantai rumah yang cukup luas, tak banyak barang di lantai
bawah karena Ibu lebih menyukai lantai ini kosong agar bisa dijadikan
tempat latihan teater. Banyak sekali karangan bunga tanpa nama diatas meja
ruang tamu depan, ini semua untuk siapa sih? Pasti buat jimbar deh, harus
kuakui wajahnya memang tampan sehingga pemandangan seperti ini sudah tak aneh
bagiku, banyak sekali wanita agresif yang mengirimkan berbagai hadiah untuknya
ke rumah ini, biasanya sih coklat atau makanan makanan aneh yang sangat
lezat…aku dan Antik yang kegirangan karena ikut menikmati semua hadiah yang
diberikan mereka untuk Jimbar. Jimbar tak pernah mengajak seorangpun wanita ke
rumah ini untuk dikenalkan sebagai pacar, padahal usianya sudah 25, tak ada
satupun dari wanita-wanita agresif itu yang mampu menaklukan hatinya, aku dan
Antik pernah bergunjing “Jangan-jangan kakak laki-laki kita itu menyimpang yah”
hihi. Ku rangkai bunga-bunga berbagai macam warna itu kedalam vas-vas bunga
kosong yang cukup banyak ditemui di rumah ini, indah juga.. Ibu pasti suka
melihatnya.
Sudah hampir 2 jam kurapikan seluruh isi rumah
ini, tak satupun dari anggota keluargaku menampakkan batang hidungnya. Biasanya
aku tak pernah bersemangat seperti semangat yang kupunya di hari ini, gila juga
ya… biasanya mencuci piring saja membuat kepalaku sakit karena tak kuat berdiri
lama-lama, namun hari ini lihatlah! Hampir seluruh isi rumah menjadi kinclong!
Suatu prestasi luar biasa bagi seorang Layung. Walau Antik belum juga pulang,
sepiring penuh oseng-oseng lidah sudah tersaji untuknya di meja makan, adik
kesayanganku itu pasti akan melahapnya sampai habis, menurutnya aku adalah koki
nomor satu di dunia.. entah tulus atau hanya agar setiap hari kumasakkan
sesuatu untuk mengisi perutnya. Rumah ini tak mempunyai pembantu, semuanya
dilakukan oleh anggota keluarga. Sebenarnya orangtuaku mampu mempekerjakan
seorang asisten rumah tangga, namun mereka tak suka melihat anak-anak mereka
manja dan menjadi malas, dalam hal ini kuacungkan jempol untuk mereka hihi
walaupun diantara semuanya akulah yang paling malas bekerja kasar, aku hanya
suka memasak.. tugasku adalah koki di rumah ini.
Tubuhku terasa segar hingga detik ini, rasanya
seperti tak berkeringat bahkan hauspun tidak. Aku masih mengenakan celana tidur
berwana krem dipadupadankan dengan kemeja putih yang kemarin masih
kupakai kuliah, enggan rasanya untuk mandi…tanpa mandipun aku sudah merasa
sangat segar. Sudah jam 5 sore, dan tak satupun anggota keluargaku yang pulang,
aku mulai kesal… Televisi yang sejak tadi kutonton sudah mulai sangat
membosankan, gossip lagi gossip lagi… tidak menarik. Mau tidurpun rasanya sulit
sekali karena benar-benar tubuhku ini sedang sangat fit, tak satupun keluhan
yang kurasakan sepanjang hari ini. Hey, bahkan sedikit makananpun belum ada
yang masuk ke dalam perutku… aku tidak membutuhkan apa-apa, hanya ingin segera
mereka datang.
Mungkin mereka semua sibuk, mungkin Antik
mengerjakan tugas di rumah temannya, Ibu rapat, Ayah masih praktik di rumas
sakit, Jimbar lembur di kantornya, segala kemungkinan berputar-putar diatas
kepalaku saat kudengar Adzan Magrib berkumandang dari masjid yang tak jauh dari
rumah. Sebaiknya aku shalat Magrib dulu sekarang, sambil menanti mereka datang.
Ah mandi sajalah, sebaiknya begitu saat menghadap Tuhan. Kulakukan shalat
Magrib di kamarku yang sudah sangat rapi dan wangi karena berkali-kali
kusemprotkan parfum kamar dengan bau melati kesukaanku, kuganti sprey Hijau
Toscaku dengan sprey putih bercorak bunga Rose yang belakangan ini begitu
jarang kupakai. Hari ini damai sekali bagiku, seperti terlahir kembali… kulipat
sajadah dan mukena dan menyimpannya diatas tempat tidur. Kuberkaca di depan
cermin, baru kali ini kuakui bahwa wajahku lumayan juga.. hari ini tampak lebih
bersinar daripada sebelumnya. Aku ini sedang dilahirkan kembali yah? Kemana
semua kantung mataku? Biasanya mereka menggelayut dibawah mataku akibat
kegiatan kuliahku yang menyita waktu tidur. Tempat tidur Ibu memang ajaib, aku
terlahir kembali menjadi Layung yang baru setelah semalaman menidurinya. Lamaa
sekali kubercermin menikmati diriku yang baru.
Suasana sudah semakin malam, tanda-tanda
kepulangan seluruh anggota keluargakupun sepertinya tidak ada. Kali ini tidak
khawatir, aku merasa begitu tenang tak was-was seperti biasanya.. segala
pemikiran positif mengenai keberadaan mereka terus berputar dikepalaku menghalau
rasa resah dan takut. Aku berbaring diatas tempat tidur kamar, menengadah
menatap langit-langit, bernyanyi-nyanyi kecil, berterimakasih kepada Tuhan atas
mukjizat dadakan yang kuterima hari ini. Kupejamkan mata meski rasa kantuk sama
sekali tak terasa, tak mengapa….kupejamkan saja mata ini… menunggu yang lainnya
datang, tak sabar rasanya menceritakan semua yang kualami hari ini.
Antik... (part 2)
Hujan mengguyur kota Bogor, petir saling
menyambar seolah sedang berlomba mengejar sesuatu yang bisa mereka kenai. Aku
duduk di kursi paling belakang minibus yang pagi ini berangkat dari Bandung,
kota yang sudah kutinggali hampir 15 tahun lamanya. Bogor memang kota kelahiran
Ibu dan Ayah, begitupula anak-anak mereka. 15 Tahun yang lalu saat umurku masih
1 tahun, orangtuaku mengajak seluruh anggota keluarganya pindah ke Bandung. Aku
tidak terlalu suka hujan, apalagi hujan hari ini…. Membuatku semakin tak
menyukainya. Entah sudah berapa lama lamunanku terus menerawang gelapnya deras
hujan yang membuat mataku tak bisa menembus apa yang ada dibalik rintiknya.
Entah sudah berapa lama aku tidak mengingatnya, namun sepanjang hari ini air
mata terus menurus menetes bagai hujan, tak biasanya aku seperti ini, rasanya
seperti sangat rapuh dan lemah.
Aku terlahir di keluarga yang sangat nyentrik
namun harmonis, aku suka sekali menjadi bagian dari hidup kedua orangtua dan
dua kakak yang kurasa mereka sangat menyayangiku. Tidak ada aturan yang
mengikat dikeluarga ini, semuanya sibuk menjadi diri sendiri, namun kebebasan ini
tetap dijaga dengan tanggung jawab tinggi, kami semua bertanggung jawab atas
diri kami masing-masing. Ibu bukan wanita galak, dia kelewat eksentrik namun
sangat kreatif dan menyenangkan. Ayah bukan laki-laki cerewet namun tegas dalam
menyikapi beberapa hal yang dianggapnya serius, sikapnya membuat kami segan
pada sosoknya. Hati ini rasanya sangat tak karuan, sama halnya dengan kepala
dan pikiran. Ya, ini adalah hari terburuk dalam hidupku… buruk sekali…
Hubunganku dengan keluarga sangatlah dekat,
terlebih dengan Ayah dan kakak perempuanku Layung. Beliau selalu memberikan
support penuh jika aku mulai menginginkan sesuatu yang berhubungan dengan karya
seni. Aku begitu suka melukis, apalagi melukis sosok seseorang, ibu tak suka
itu. Sebenarnya ibu lebih suka agar aku menjadi seorang Dokter saja, namun
sayang minatku rasanya kurang banyak untuk menjadi seorang dokter. Selepas
lulus SMA nanti aku sangat yakin 100 % untuk mengikuti ujian seleksi sebuah
universitas kesenian ternama di Jogjakarta, Ibu sudah tidak bisa berkata banyak
jika Ayah saja sudah mendukungku untuk melakukannya.
Dua kakakku adalah dua anak manusia paling
menyenangkan yang ada diseluruh dunia, rasanya mungkin tak akan sama jika aku
dilahirkan tidak menjadi adik bungsu mereka. Kakak lelakiku bernama Jimbar, dan
yang perempuan bernama Layung. Jimbar baru saja lulus kuliah, karena
kecerdasannya, sebelum lulus kuliah beberapa perusahaan sudah mengincarnya.
Jimbar adalah seorang tampan yang amat penyayang, sayang sampai detik ini belum
juga dia kenalkan pasangannya kepada kami semua. Aku dan Layung seringkali
mencibirnya karena seumur hidupnya dia belum pernah berpacaran bahkan tertarik
pada lawan jenis. Layung adalah kakak perempuanku, seorang mahasiswi Teknik
Sipil semester 6 yang juga cantik dan pintar, menurut pendapatku Layung adalah
versi muda dari Ibu, namun Layung adalah versi normalnya karena sikapnya tidak
nyentrik seperti Ibu. Layung sangat menyayangiku, banyak hal yang kubagi
dengannya, soal pelajaran-pelajaran sekolah, soal cowok-cowok yang mendekatiku,
bahkan soal perseteruanku dengan Ibu… Layung selalu ada di barisan terdepan
dalam hal membelaku. Sayang dia begitu tertutup masalah percintaan, sama
seperti Jimbar… Layung belum pernah mengajak satupun pria kedalam rumah. Ada
hal yang selalu kukhawatirkan soal Layung, fisiknya terlalu lemah untuk
melakukan hal yang berhubungan dengan kegiatan fisik, dia selalu megeluh
kelelahan. Hampir setiap malam kulihat dia mengaduh menjerit sendirian di
kamarnya mengeluhkan sakit kepala yang dia derita belakangan ini, hanya aku
yang mendengar tangisannya setiap malam… kamar kami berdekatan, namun tak cukup
berani bagiku bertanya soal rasa sakitnya karena Layung tak suka dikasihani.
Ayah pernah memaksanya memeriksakan kesehatan, namun Layung selalu menolak dan
menganggap dirinya baik-baik saja. Aku yakin hari ini seluruh anggota keluarga
di rumahku menyesali kenapa saat itu tak memaksa Layung saja untuk memeriksakan
kesehatannya meski dia menolak.
Hari ini adalah hari takkan pernah bisa
kulupakan, hari dimana tak hentinya kulayangkan semua kenangan indah tentang
keluarga bahagiaku…
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam saat
kendaraan yang kutumpangi kembali memasuki wilayah kota Bandung. Sepi sekali
suasana didalamnya, biasanya riuh canda tawa selalu ada disetiap perjalanan
jauh yang kujalani, aku suka sekali bercanda dan membuat kegaduhan, tapi hari
ini… malam ini… aku lebih suka berdiam diri tak menggubris semua
pertanyaan maupun sapaan yang mendarat ditelingaku. Hati ini seperti berhenti
berdegup saat mobil memasuki gerbang komplek rumah kami, semua yang ada di
mobil ini sepertinya mengalami perasaan yang sama sepertiku. Rasanya kenangan
yang ada di kepala kami semakin berputar-putar tak karuan. Air mata kembali
terurai menyebar di pipi, kulihat Ibu yang duduk disebelahkupun tengah mengisak
pelan sambil tak henti-hentinya mengucapkan kalimat-kalimat yang memuji
keagungan Tuhan, ingin rasanya kumemelukmu bu… tapi maaf akupun tak mampu
mengatasi kesedihan ini, biarkan kita sama-sama saling mengobati luka ini ya
bu…
Jimbar turun membukakan pintu depan rumah, tak
pernah kulihat wajahnya sesedih ini, Jimbar yang kukenal adalah Jimbar yang
sangat senang mengumbar senyum diwajahnya yang tampan, namun kali ini lain.
“Assallamuallaikum… “ ayah masuk paling
pertama ke dalam rumah, menyusul Ibu, Jimbar, kemudian aku, hening… tak ada
jawaban. Aku berjalan cepat setengah berlari menuju kulkas yang ada di dapur,
haus sekali setelah seharian menangis tanpa minum dan makan. Nafsu makanku
masih belum kembali, namun akhirnya setelah seharian mengunci mulut dari apapun
aku merasa haus juga. Kuambil teko es teh manis yang ada di kulkas, kutuangkan
kedalam gelas, kuminum dengan cepat… tanganku masih meraba-raba tombol
untuk menyalakan lampu dapur saat kudengarkan teriakan Ibu menggema dari tengah
ruang tamu. Aku berlari tangkas menuju ibu dan yang lainnya berada, kulihat
mata ibu membelalak kaget menunjuk tangannya pada vas bunga berisi kumpulan
karangan bunga yang tadi pagi masih berserakkan diseluruh penjuru rumah saat
kami bertolak menuju Bogor. “siapa yang membereskan ini semuaaaa?!”, ibu
kembali berteriak dengan suara lantang. Benar saja, kulihat kesekelilingku
semuanya tertata dengan amat rapi, tak pernah rumah kami serapi ini. Ayah yang
daritadi terlihat bingungpun ikut terlihat heran dengan pemandangan yang kini
menjadi tontonan aku, Jimbar, dan beberapa kerabat kami yang baru saja datang
terlambat sampai ke rumah.
Aku kebingungan dengan semua ini, rasa-rasanya
hari ini tak ada siapapun yang tinggal di rumah… kami semua berangkat ke Bogor
mengantar jasad Layung ke tempat peristirahatan terakhirnya…
Jimbar... (part 3)
Aku masih terpaku melihat kedua orangtuaku
kebingungan menggeledah seisi rumah yang mendadak terlihat sangat rapi tak
seperti biasanya. Kami curiga jangan-jangan ada pencuri yang menyusup ke dalam
rumah yang seharian ini kosong kami tinggalkan, tapi pikirku.. mana mungkin
pencuri seniat ini membereskan seisi rumah tanpa terkecuali? Sebagai anak
laki-laki paling besar dikeluarga ini, harusnya aku bisa memecahkan teka-teki
siapa orang yang ada dibalik kebingungan kami semua hari ini.
Layung adik perempuan pertamaku pergi untuk
selamanya hari ini, keluargaku tengah terluka dan berduka. Aku harus bersikap
tegar, meski tak jarang kupalingkan wajah untuk mengusap setitik air mata yang
jatuh dipipi. Aku tak mau membuat Antik, Ibu, dan Ayah lebih terluka jika
melihat aku juga terluka atas perginya Layung…
Kurangkul tubuh ibu yang lelah mencari tahu
siapa orang yang menyusup masuk ke dalam rumah yang seharian ini kami
tinggalkan saat mengantar jenazah Layung ke kota Bogor sebagai kota
peristirahatan terakhirnya. “Bu, sudah yah… siapapun orang itu, sepertinya dia
baik karena mau membereskan seisi rumah tanpa mengambil satu barangpun dari
rumah ini..” ayah mengangguk tanda setuju sambil perlahan menggantikkanku
merangkul Ibu yang tampak lelah dengan tatapan mata kosongnya.
Sebelum hari ini datang, rumah ini selalu
penuh dengan warna, semua orang yang tinggal di rumah ini memiliki karakter
manusia yang berbeda-beda. Ibu seorang seniman dibidang teater, ayah seorang
dokter, aku seorang akuntan, Layung seorang mahasiswi yang memilih untuk
bergelut dibidang teknik sipil, dan si kecil Antik masih bersekolah dan
berencana untuk melebarkan sayapnya menjadi seorang pelukis. Dengan perbedaan
hobi, sifat kamipun berbeda. Ibu sangat kreatif dan eksentrik, ayah sangat
pintar dan logis, aku lebih memilih menjadi seorang pria ramah dan penyayang,
Layung cukup tomboy dan baik hati, sesuai dengan namanya… Antik yang terkecil
juga memiliki karakter yang cukup unik, dia eksentrik namun logis, perpaduan
antara Ibu dan Ayah. Kami tertaut dalam satu ikatan darah, aku bahagia menjadi
bagian dari keanekaragaman ini.
Layung hanya terpaut 4 tahun denganku,
hubungannya denganku sangatlah dekat… jika ada sebutan untuk sebuah hubungan
lebih daripada saudara kandung namun bukan kekasih maka itulah kami. Layung
yang cantik, cuek dan ceria selalu membuat hari-hariku berwarna, pernah satu
kali saat kami masih kecil, gerombolan anak-anak laki-laki di komplek hampir
mengeroyokku dengan alasan kurang jelas, mereka bilang aku angkuh dan sombong.
Aku yang hanya sendirian merasa sangat ketakutan berhadapan dengan mereka,
tiba-tiba Layung yang jauh lebih mungil dari kami semua muncul dengan tatapan
galak membelaku sambil memukuli mereka satu-persatu hingga membuat mereka
kabur. Layung begitu santun terhadapku, orangtua kami, bahkan pada Antik adik
bungsu kami. Meski tomboy, Layung adalah seorang perempuan yang sangat ahli
dalam memasak. Masakan Layung cukup populer ditengah keluarga besarku, dia tak
keberatan jika saudara jauh keluargaku memesan ini itu darinya untuk dimasak,
Layung adalah kesayangan semua orang.
Layung sering mengeluhkan sakit kepalanya,
kami tidak pernah tahu seserius apa sakit kepalanya. Layung selalu saja
tersenyum meski kesakitan, hal itu yang membuat kami yakin bahwa dia baik-baik
saja. Layung tak pernah meminta memeriksakan penyakitnya, meski Ayah kami
memaksanya. Ayah seorang dokter, dia tahu ada sesuatu tak beres menyangkut
kesehatan Layung, namun Layung tak pernah mau ditangani Ayah, selalu saja dia
berkata “Aku baik-baik saja kok yah!”
Malam tadi dia tertidur sepulang kuliah di
kamar Ibu, lagi-lagi dia keluhkan sakit kepalanya. Tak ada pertanda apapun
bahwa dirinya akan pergi dari kami semua, Layung pergi meninggalkan kami dalam
keadaan tertidur, di tempat tidur Ibu. Tak ada hujan, kepergian layung bagai
halilintar yang menyambar tepat ke hati kami semua, termasuk hatiku yang begitu
menyayanginya. Tak pernah keluarga kami merasakan kepedihan sedalam ini. Semua
datang secara tiba-tiba, keluargaku yang terbiasa dibuai oleh kebahagiaan dalam
sekejap berubah menjadi keluarga murung yang dirundung duka mendalam.
Antik menjerit dengan hebatnya berteriak
memanggil Ayah yang masih merangkul Ibu, suaranya terdengar dari arah dapur
yang bersebelahan dengan ruang makan. “Ayaaaaah Ibuuuuuu Jimbaaaaar lihat
ini!!!”, Antik kembali berteriak namun kini dengan getaran seolah dia hendak
menangis. Matanya membelalak hebat, mukanya pucat pasi, tangannya menunjuk ke
arah meja. Mataku mengarah pada benda dalam piring besar yang tersaji diatas
meja makan, arah yang ditunjuk oleh telunjuk antik yang kini menangis memeluk
ayah yang mulai berteriak meneriakkan asma Allah. Diatas meja makan kulihat
sepiring masakan yang terlihat tak asing bagi keluargaku, sepiring
oseng-oseng lidah sapi saus tiram, makanan kesukaan Antik yang hanya bisa
dibuat oleh Layung. Layung yang menciptakan masakan ini, oleh karena itu aku
yakin hanya Layung yang bisa membuatnya. “Allahuakbar..” aku berteriak ikut
menjerit melihatnya, disusul tangisan Ibu yang mungkin baru menyadari
pemandangan haru yang sedang kami lihat. Ibu, Antik, Ayah dan aku sama-sama
mencicipi oseng-oseng itu, rasanya sangat mirip masakan Layung. Kami berempat
berpelukan, aku tak tahan menahan air mata yang seharian ini sudah berhasil
kutahan. Antik berteriak memanggil nama Layung, “Layuuuuung…. Layuuuung…
terimakasih…terimakasih..”. Aku tak kuasa lagi menahan rasa sedih, kudekap
kepala Antik berharap dia berhenti berteriak karena hanya akan membuat hati
semua orang semakin terluka atas kepergian Layung.
Layung meski kau pergipun kau masih saja
baikhati mempedulikan kami semua… terimakasih untuk masakanmu yang kuyakin kau
buat sendiri untuk Antik.
Ibu seperti terperanjat kaget sambil mendadak
berlarian ke lantai atas rumah, dia masuk ke dalam kamarnya dengan sangat cepat
dan lagi-lagi kudengar teriakannya, kali ini dia berteriak memanggil kami
semua. Kamar ibu yang terakhir kali kami lihat begitu berantakan kini terlihat
sangat rapi. Kasur tempat pembaringannya untuk yang terakhir kali kini sudah
tak kusut lagi. Baju yang berserakan kini sudah berada di tempatnya
masing-masing, kami yakin hanya Layung yang tahu letak dimana barang-barang
bergeletakkan itu seharusnya berada. Saat semuanya masih terpaku penuh haru,
aku mengomando semuanya untuk masuk ke dalam kamar Layung, sekedar ingin tahu
apa yang terjadi di dalam kamarnya jika memang dia yang melakukan semua ini.
Semua sudah masuk ke dalam kamar Layung, suara tangis kembali memecah rasa
kaget kami….
Tempat tidur Layung yang terakhir kali
terlihat berantakan dengan sprey berwarna Hijau Tosca kini berganti menjadi
sprey berwarna putih dengan corak bunga rose berwarna putih. Layung pernah
berkata didepan kami semua, “Jika kalian ingin tahu suasana hati aku, lihat
saja sprey kamarku! Kalau berwarna hijau, berarti aku sedang pusing entah
pusing kuliah atau apapun itu. Kalau warnanya putih, berarti aku lagi senang
dan bahagia!”. Diatas tempat tidurnya kulihat sajadah dan mukena terlipat yang
sepertinya habis dipakai shalat oleh seseorang, Ibu meraih mukena itu dan
menciuminya… kembali kudengar Ibu menangis menyebut nama Layung. Kuambil mukena
itu untuk melakukan hal sama seperti yang Ibu lakukan. Air mata semakin
membanjiri wajahku, mukena yang sedang kuciumi begitu identik dengan wangi
parfum Layung, baunya seperti bau adikku.
Kami berpelukan, aku tahu kaupun ikut
berpelukan bersama kami disini… Layung, kau adik yang sangat baik, aku yakin
Tuhan akan memperlakukanmu dengan baik juga disana….
Pamit. (part 4)
Aku melihat semuanya dengan mata
kepalaku sendiri…
Kulihat mereka semua menangisiku
Aku berteriak memangil mereka
Aku menangis menyadari mereka tak
mampu lagi mendengarku
Tuhan, aku ini sudah meninggal?
Tuhan, benarkah itu?
Jika memang benar, bisakah kauijinkan
satu hari saja berkumpul bersama mereka?
Sepertinya tidak bisa ya? Karena untuk
beberapa saat aku hanya membisu dan tak mendengar satupun petunjuk darimu.
TUHAN KENAPA HARUS SEKARANG?
TUHAN KENAPA TAK BESOK LUSA ATAU LUSA
NANTI SAJA SAAT AKU SUDAH MENDAPATKAN GELAR SARJANAKU?
KENAPA HARUS HARI INI?
Aku ingin membahagiakan kedua
orangtuaku… melihat Jimbar menikah… melihat Antik menjadi seorang mahasiswi…
Sepertinya aku tidak bisa bernegosiasi
denganmu Tuhan…
Baiklah… beri aku waktu beberapa menit
saja, setelah itu tolong tunjukkan jalan untukku benar-benar pulang..
Aku ingin pamit
Aku tak ingin mereka sakit
Aku ingin berterimakasih
Dan berkata “Ayah, Ibu, Jimbar, Antik…
Kepalaku tak sakit lagi, badanku tak lemah lagi, kalian tak usah
mengkhawatirkanku karena Tuhan akan menjagaku dengan baik”
Tuhan, berjanjilah untuk mengabulkan
ini… berjanjilah untuk menjaga mereka selagi aku kembali ketempatmu…
Aku ikut berpelukan ditengah mereka..
Yang berkumpul dalam kamarku yang kini
sempit karena kami berlima..
Mereka tak sadari kehadiranku
Namun kuyakin mereka merasakan kasih
sayangku..
Selamat tinggal Ayah, Ibu, Jimbar,
Antik…
Aku pamit.
"Layung"